BAB 7 TRANSFORMASI
SPEKTRAL
Selain penajaman citra.
masih ada transformasi lain yang serin digunakan untuk menghasilkan infomasi
baru. Transformasi ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (a) transformasi
yang dapat mempertajam informasi tertentu. namun sekaligus menghilangkan atau
menekan infomasi yang lain; dan (b) transformasi yang 'meringkas' infomasi
dengan cara mengurangi dimensionalitas data. Berbeda halnya dengan berbagai
algoritma penajaman, transformasi khusus ini lebih banyak beroperasi pada
domain spektral. Ciri lainnya ialah bahwa dalam banyak kasus, transformasi ini
melibatkan beberapa saluran spektral sekaligus.
Dasar utama
pengembangan transformasi-transformasi ini adalah feature space. Pada feature
space dapat terlihat kecenderungan pengelompokan nilai spektral, yang
mengindikasikan adanya pengelompokan objek, terpisah satu sama lain, ataupun
membentuk fenomena tertentu.
1.1 PENISBAHAN SALURAN
Penisbahan saluran
(band ratioing) biasa digunakan untuk menghasilkan efek tertentu dalam
kaitannya dengan penonjolan aspek spektral vegetasi, pengurangan efek bayangan,
serta penonjolan litologi. Melalui penisbahan ini citra baru dihasilkan dengan
nilai piksel yang merupakan hasil bagi nilai piksel saluran A dengan saluran B.
Dengan penisbahan ini,
masalah timbul dalam mempresentasikan nilai kecerahan yang baru. Bisa jadi
julat nilai hasil penisbahan hanya berkisar antara 0-2,34, padahal kemampuan
komputer dalam menampilkan citra pada layar monitor ialah pada julat 0-255
dengan nilai tiap piksel integer (bulat). Artinya, hasil penisbahan ini
hanyalah berupa citra dengan kisaran nilai O 2, atau semuanya hitam.
Untuk mengatasi hal ini
suatu koefisien perlu ditambahkan sehingga citra yang dihasilkan dapat memiliki
julat 0 -255, misalnya:
Efek Penisbahan Saluran
Penisbahan dapat
menonjolkan aspek kerapatan vegetasi, khususnya untuk penisbahan saluran
inframerah dekat dengan saluran merah (lihat pembahasan Indeks Vegetasi). Di
samping itu, secara umum penisbahan dapat menekan efek bayangan, misalnya pada
lereng yang bervegetasi (Lillesand et al., 2008). Pada Gambar 7.1 terlihat
bagaimana perubahan perbedaan nilai untuk jenis vegetasi yang sama, dari citra
asli ke citra baru hasil penisbahan. Begitu juga efek perubahan perbedaan nilai
untuk tipe vegetasi yang berbeda (daun jarum dengan daun lebar). Untuk daerah
yang terbuka, kadang-kadang penisbahan ini dapat diterapkan untuk pembedaan
litologi secara spektral.
Gambar 7.1 proses penisabahan (rooting) saluran
mampu mengurangi variabilitas informasi spectral vegetasi, yang disebabkan oleh
efek bayangan (modifikasi dari Lillesand et al., 2008)
7.1 PENGURANGAN SALURAN
Pengurangan saluran
(image differencing) blasa diterapkan untuk mendeteksi perubahan liputan dan
satu waktu perekaman ke waktu perekaman yang lain. Secara umum, pengurangan ini
dapat diformulasikan sebagai berikut.
Khusus untuk teknik
ini, Citra masukan tidak harus berupa citra saluran tunggal, melainkan dapat
pula hasu transformasi spektral, misalnya citra indeks vegetasi pada dua
tanggal perekaman yang berbeda. Hal penting yang harus diperhatikan ialah bahwa
nilai kedua citra masukan harus sudah dikalibrasi Artinya, nilai piksel
P(i,j)pada citra A harus mempresentasikan pantulan energi atau nilai spektral
yang sama dengan sembarang piksel bernilai P pada citra B. Untuk itu, koreksi
atau kalibrasi radiometrik mutlak diperlukan dan hal itu diterapkan sebelum
masingmasing saluran ditransformasi secara matematis.
7.3 INDEKS VEGETASI
Indeks vegetasi
merupakan suatu bentuk transformasi spektral yang diterapkan terhadap citra
multisaluran untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang
berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI),
konsentrasi klorofil, dan sebagainya. Secara praktis, indeks vegetasi ini
merupakan suatu transformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran
sekaligus, dan menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam
menyajikan fenomena vegetasi.
Ray (1995) menjelaskan
bahwa ada dua macam asumsi dasar dalam pengembangan dan penggunaan indeks
vegetasi. Asumsi pertama ialah bahwa beberapa kombinasi aljabar dari
saluran-saluran spektral dapat memberikan informasi tertentu tentang vegetasi.
Memang secara empiris ada beberapa bukti tentang hal ini. Asumsi kedua ialah
bahwa semua tanah terbuka (gundul) pada suatu citra akan membentuk garis
imajiner yang disebut garis tanah, apabila piksel-pikselnya diplot pada feature
space. Garis ini kemudian diasumsikan sebagai garis yang mewakili piksel tanpa
vegetasi. Kemudian, Ray mengelompokkan transformasi indeks vegetasi ke dalam
empat golongan besar, yaitu (a) indeks vegetasi dasar (atau generik), (b)
indeks vegetasi yang meminimalkan pengaruh latar belakang tanah, (c) indeks
vegetasi yang meminimalkan pengaruh atmosfer. dan (d) indeks vegetasi lainnya.
Berikut ini penjelasan beberapa indeks vegetasi dengan menambahkan informasi
dari pustaka lain, termasuk Danson dan Plummer (1995) dan Jensen (2005).
7.3.1 Indeks Vegetasi
Dasar (Generik)
Pada mulanya, indeks
vegetasi dikembangkan terutama berdasarkan feature space tiga saluran: hijau,
merah, dan inframerah dekat. Ketiga saluran ini cukup representatif dalam
menyajikan fenomena vegetasi, sebelum saluran inframerah tengah digunakan secara
luas. Meskipun demikian. pola spektral vegetasi pada saluran merah dan
inframerah dekat lebih diperhatikan karena sangat berlawanan. Bila
diperhatikan. tampak bahwa feature space yang dibentuk oleh saluran inframerah
dengan saluran merah menghasilkan sebaran yang lebih lebar. Terlihat pula
piksel-piksel vegetasi ternyata mengelompok pada sudut kiri atas, lalu
piksel-piksel tanah kering berona cerah pada kanan atas, dan piksel-piksel
tanah basah berona sangat gelap berdekatan dengan titik asal (Gambar 7 2).
Gambar 7.2 Garis
vegetasi dan garis tanah (modifikasi dari Richardson dan Wiegand, 1977)
Vegetasi sangat rapat
dengan struktur daun atau percabangan yang berbeda bila diplot, ternyata
menempati garis imajiner antara tanah gelap egetast (sekitar titik asal ke kiri
atas). Garis indah yang disebut dengan garis vegetasi Di situ lain. garis
imajiner antara tanah gelap-tanah cerah ( sekitar titik asal ke kanan atas)
ternyata ditempati oleh piksel-piksel tanah dengan rona dan kelembapan yang
berbeda. Garis inilah yang disebut garis tanah (Richardson dan Wiegand, 1977).
Vegetasi dengan kerapatan yang bervariasi ternyata terletak di antara kedua
garis ini. Piksel-piksel air jernih dan dangkal terletak di sebelah kanan garis
tanah (Gambar 7 2)
Ratio Vegetation Index
(RVI) merupakan salah satu transformasi indeks vegetasi yang paling sederhana.
Transformasi ini diformulasikan sebagai:
Bila nilai RVI ini
diplot pada feature space inframerah dekat (sumbu y) melawan merah (sumbu x),
terlihat bahwa nilai RVI yang sama akan membentuk satu garis, yang juga
menunjukkan besarnya gradien, Nilai RVI terbesar ternyata berimpit dengan garis
vegetasi, dan nilai RVI terkecil ternyata berimpit dengan garis tanah. Dengan
kata lain, garis tanah menunjukkan RVI bernilai 0, garis vegetasi menunjukkan
RVl bernilai maksimum (lihat Gambar 7.4).
Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI) merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan
teknik pengurangan citra. Transformasi NDVI ini merupakan salah satu produk
standar NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), satelit cuaca
yang berorbit polar namun memberi perhatian khusus pada fenomena global
vegetasi dan cuaca. Berbagai penelitian mengenai perubahan liputan vegetasi di
Benua Afrika banyak menggunakan transformasi ini (Tucker, 1986). Formulasinya
adalah sebagai berikut.
Sama halnya dengan RVI,
NDVI mampu menonjolkan aspek kerapatan vegetasi. Secara implisit, berbagai
penelitian (lihat Danoedoro, 1989; Wardani, 1992; Jatmiko, 1992) menunjukkan
adanya korelasi yang cukup kuat antara RVI dengan NDVI. Artinya, keduanya dapat
memberikan efek yang sama. Perbedaan utama di antara keduanya terletak pada
nilai asli yang dihasilkan. Pada RVI, nilai terkecil ialah 0 dan nilai maksimum
biasanya mencapai dua digit; sedangkan pada NDVI, nilai selalu berkisar antara
-1 hingga +1. Pada beberapa paket perangkat lunak, menu indeks Vegetasi RVI,
NDVI, TVI, dan sebagainya kadang-kadang telah tersedia, dan citra keluarannya
sudah langsung dikonversi ke julat 0 255. Hal ini bagus untuk aspek
visualisasi. tetapi belum tentu menguntungkan bagi proses analisis berikutnya,
yang bertumpu pada aspek informasi spektral karena tidak ada kejelasan tentang
cara konversinya.
Transformasi TVI
(Transformed Vegetation Index) dikembangkan untuk menghindari hasil negatif
pada NDVI. Formulasinya adalah sebagai berikut.
Untuk tampilan atau
visualisasi langsung, nilai 0,5 ini masih harus disesuaikan dengan kondisx
perangkat lunak dan julat nilai spektral citra aslinya Untuk perangkat lunak
tertentu (dan layar monitor tertentu) yang mempunyai kemampuan menampilkan 256
warna, nilai 0,5 ini digantikan oleh 127; sedangkan untuk Sistem yang
menyajikan 64 warna, nilai 0,5 ini digantikan oleh 31. Hal ini tidak lagi
berlaku dewasa ini, karena teknologi layar monitor telah mampu menampilkan
puluhan ribu hingga jutaan warna.
Richardson dan Wiegand
(1977) mengusulkan dua transformasi indeks vegetasi, yaitu DifferenceVegetarian
Index (DVI) dan Pezpendzcular Vegetaaon Index (PVI). Keduanya dikembangkan dari
data Landsat MSS di beberapa daerah di Amerika Serikat. DVI diformulasikan
sebagai:
DVI = 2.4(MSS7) -
(MSS5) ................................................ (7.7)
Pada formula ini, MSS7
adalah saluran inframerah dekat yang beroperasi pada panjang gelombang 0,8 -1,1
μm MSS5 adalah saluran merah yang beroperasi pada panjang gelombang 0,6-O,7 μm.
Pada penelitian ini, data asli MSS7 hanya berjulat 0 63, sedangkan MSS5
berjulat 0 127. Oleh karena itu, apabila transformasi DVI ini akan diterapkan
pada data MSS Landsat yang digunakan di Eropa (stasiun penerima negara-negara
Eropa, ESA/Earthnet, mengeluarkan produk MSS Landsat dengan julat 0 255 untuk
semua saluran), nilai koefisien 2,4 ini harus diganti dengan nilai 1,2.
Transformasi PVI cukup
menarik untuk dikaji karena dasar pemikirannya sedikit berbeda dengan RVI dan
NDVI. Berdasarkan sampel yang mereka kumpulkan, diperoleh fakta bahwa sebaran
piksel vegetasi ternyata mempunyai jarak tegak lurus tertentu terhadap garis
tanah, sebagai fungsi kerapatan atau biomassa. Jarak yang dimaksud di sini
adalah jarak spektral karena skala yang digunakan dalam Sistem koordinat kartesian
untuk feature spacenya juga skala nilai spektral (lihat Gambar 7.3).
Ray (1995) men elaskan
bahwa PVl dapat dipandang sebagai generalisasi dan DVI yang dapat diterapkan
pada sembarang kemiringan garis tanah. Ciri khas dari PVI adalah: (a) indeks
diperhitungkan tegak lurus terhadap gans tanah, (b) garis vegetasi yang
mempunyai kerapatan sama tergambar sejajr (paralel) dengan garis tanah, (c)
garis tanah dapat mempunyai sembarang kemiringan dan selalu melewati titik asal
yang tersusun atas sumbu sumbu saluran inframerah dekat (x) dan merah (y), (d)
mempunyai julat dari-1 sampa dengan +1. Di samping itu dikatakan bahwa PVI
sangat peka terhadap vanasr kondisi atmosfer (Qi et al., 1994 dalam Ray, 1995)
PVI d formulasikan sebagai:
PVI
= sin (a)* BV inframerah dekat - COS (a) * BVmerah
.................. (7.8)
di mana a adalah sudut
antara garis tanah dengan sumbu inframerah dekat. Gambar 7.3 menyalikan feature
space dan perhitungan sudut antara garis tanah dengan saluran inframerah dekat.
yang dijadikan dasar penentuan besarnya PVI.
Di samping itu ada pula
WDVI (Weighted Differenced Vegetation Index) yang diperkenalkan oleh Clevers
(1988, dalam Ray. 1995). Ada hubungan dengan PVI, seperti halnya hubungan
PVI dengan NDVI. WDVI merupakan versi matematis yang lebih sederhana daripada
PVI tetapi Juga sensitif terhadap variasi kondisi atmosfer. Bedanya dengan PVI
adalah bahwa julatnya tak terbatas.
WDVI
= BV infamerah dekat - g *(BVmerah)
................................ (7.9)
Apabila dibandingkan
dengan model garis vegetasi pada Gambar 7.2. dalam kaitannya dengan PVI dan
WDVI ini, jarak tegak lurus (perpendzcular distance) terjauh dari garis tanah
ternyata direpresentasikan oleh piksel piksel vegetasi dengan kerapatan sangat
tinggi. Piksel-piksel vegetasi dengan kerapatan rendah ternyata berada pada
jarak tegak lurus yang lebih pendek Namun, penyimpangan mulai terlihat karena
model ini berlawanan dengan model feature space yang mempresentasikan garis
tanah dan garis vegetast yang konvergen ke arah titik asal. Bila model
konvergen ini ditumpangtindihkan ke model PVI Richardson dan Wiegand maka
terlihat bahwa vegetasi pinus dengan kerapatan sangat tinggi akan dipandang
sebagai vegetasi dengan kerapatan yang lebih rendah karena jarak tegak lurusnya
ke garis tanah sangat pendek!
Gambar 1.3 Contoh
perhitungan PVI berdasarkan geometri garis tanah dan garis vegetasi untuk
beberapa sampel air, tanah. dan vegetasi wilayah Maros
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa transformasi PVI dan WDVI tidak dapat diterapkan pada semua
kondisi. Menurut beberapa penelitian, PVI ini lebih tepat untuk mengkaji
perbedaan yang tipis antara satu tingkat kerapatan dengan tingkat kerapatan
yang lain, dan juga untuk liputan vegetasi yang tidak terlalu rapat Lebih dari
itu, kita dapat melihat bahwa bila daerah kajian ternyata meliputi beberapa
tipe vegetasi yang berbeda (misalnya daun lebar dan daun jarum), transformasi
PVI ini dapat memberikan infomasi yang keliru.
Gambar 7.4 Ration Vegetation Index (RVI) dan Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI) sebagai fungsi transformasi saluran inframerah dekat
dan merah. Perhatikan garis-garis yang menyatakan nilai yang sama untuk RVI dan
NDVI
7.3.2 Indeks Vegetasi
yang Menekan Gangguan Latar Belakang Tanah
Gangguan latar belakang
tanah adalah gangguan berupa variasi respons spektral tanah yang berbeda-beda,
yang menyebabkan kurang akuratnya indeks vegetasi yang dihasilkan. Pada garis
tanah, seperti dijelaskan sebelumnya, terdapat bermacam-macam vektor piksel
tanah dengan kelembapan dan mungkin juga warna yang berbeda-beda. Di samping
itu, kadang-kadang dijumpai beberapa jenis tanah ternyata membentuk garis tanah
dengan kemiringan yang berbeda dalam feature space, dengan garis tanah yang
sudah ada, atau yang terbentuk oleh piksel-piksel tanah yang lain. Perbedaan
ini menyebabkan indeks vegetasi tak dapat diukur secara akurat. Oleh karena
itu, dikembangkan indeks vegetasi yang mencoba mereduksi gangguan tanah dengan
cara mengubah perilaku garis isovegetasi (yang mempunyai kerapatan sama). Semua
indeks ini berbasis rasio (nisbah) dan menggeser tempat garis-garis isovegetasi
bertemu.
Indeks-indeks yang
termasuk kategori ini ialah (a) SAVI (Soil Adjusted Vegetarian Index), (b)
TSAVI (T ransformed Soil Adjusted Vegetation Index), (c) MSAVI ( Modified Soil
Adjusted Vegetation Index), dan (d) MSAV12 (Second Modified Soil Adjusted
Vegetation Index). Formulasinya adalah sebagai berikut:
di mana L ialah faktor
koreksi untuk vegetasi, yang besarnya 0 untuk vegetasi sangat rapat dan 1 untuk
vegetasi yang sangat jarang. Faktor pengali (1+L) digunakan supaya julat hasil
transformasi berkisar antara -1 dan +1.
di mana a adalah
intercept garis tanah, s adalah kemiringan garis tanah, dan X adalah faktor
penyesuaian yang diatur untuk meminimalkan gangguan tanah (pada naskah aslinya
=0 ,08). Kemudian MSAVI dirumuskan sebagai berikut:
dengan L dihitung
sebagai L = 1-2s(NDVI)(WDVI), dan s
adalah kemiringan garis tanah (soil line).
Sementara itu, MSAV12
dihitung dengan rumus berikut.
7.3.3 lndeks Vegetasi
yang Menekan Pengaruh Atmosfer
Ada dua macam
transformasi indeks vegetasi yang dirancang untuk meminimalkan pengaruh
atmosfer, yaitu GEMI (Global Environmental Modelling Index) dan ARVI
(Atmospheric Resistant Vegetation Index). GEMI bersifat non-linier dan
menggunakan isoline vegetasi yang kompleks. julat nilai yang dihasilkan ialah
antara 0 hingga +1. ARVI berbasis pada rasio citra. ARVI juga mengasumsikan
adanya parent index, yaitu garis tanah; sedangkan isoline-isolme vegetasi
memotong parent index.
Ketika disadari bahwa
banyak indeks vegetasi ternyata sensitif terhadap efek atmosfer maka indeks
lain dikembangkan dengan cara menerapkan normalisasi terhadap radiansi di
saluran biru, merah, dan inframerah dekat, yang disebut dengan ARVI
(Atmospherically Resistant Vegetation Index) yang dirumuskan sebagai (Jensen,
2005):
7.3.4 Indeks Iegetasi
dengan Kombinasi Saluran Spektral yang Lain
Sebagian besar formula
indeks vegetasi mengandalkan kombinasi saluran merah dan inframerah dekat
karena dilandasi asumsi bahwa kedua saluran tersebut paling representatif (dan
secara signifikan menunjukkan kecenderungan yang berkebalikan) dalam menyajikan
fenomena kerapatan vegetasi. Jensen (2005) melaporkan bahwa ada beberapa
kelemahan dalam penggunaan indeks-indeks vegetasi seperti yang telah dibahas
terdahulu sehingga kemudian muncul indeks-indeks yang lain. Kelemahan yang
sering disebut adalah munculnya efek saturasi pada NDVI, di mana peningkatan
kerapatan vegetasi tidak diimbangi dengan peningkatan nilai NDVI.
Indeks Inframerah II
adalah modifikasi atas NDVI, dimana saluran merah diganti dengan saluran
inframerah tengah, atau:
Rumus ini sebenarnya
mengacu ke penelitian Hardisky et al. (1983, dalam Jensen, 2005), dan secara
spesifik menggunakan saluran TM4 dan TM5 Landsat. Hasil penelitian tersebut
diklaim lebih sensitif terhadap biomassa tanaman dan gangguan kandungan air
dibandingkan menggunakan NDVI. Penggunaan rumus ini dengan citra satelit lain
sebaiknya mempertimbangkan julat panjang gelombang yang serupa.
Ada lagi kombinasi
antara saluran inframerah dekat dan inframerah tengah, yang dirumuskan sebagai
Moisture Stress Index (MSI) (Rock et al., 1986), di mana rumus ini serupa
dengan Ratio Vegetation Index. Hanya saja, posisi saluran inframerah tengah
sebagai pembilang dan saluran inframerah dekat sebagai penyebut.
Sama halnya dengan II,
MSI secara spesifik menggunakan saluran-saluran TM4 dan TM5 Landsat Thematc
Mapper.
Pemahaman bahwa saluran
inframerah tengah sangat bermanfaat dalam kajian vegetasi, terutama terkait
dengan kandungan lengas membawa ke pengembangan indeks lainnya, yaitu Leaf
Water Content Index (LWCI) yang diusulkan oleh Hunt et al, (1987):
di mana FT adalah
pantulan di saluran yang dispesifikasikan pada rumus tersebut (inframerah dekat
dan inframerah tengah), yang mewakili daun pada kondisi kandungan lengas
maksimum (fully turgid RWC), yaitu:
Sementara Musick dan
Pelletier (1988, dalam Jensen, 2005) menggunakan kombinasi saluran inframerah
tengah dan inframerah jauh (sering disebut juga saluran inframerah tengah).
memodelkan variasi kelembapan tanah. Indeks ini disebut dengan Indeks
Inframerah Tengah (MidIR Index):
Di samping ARVI (lihat
persamaan 7.16 pada Subbab 7. 2 3), dikembangkan juga SARVI (soil and
Atmospbenc Resistant Vegetation Index), yang dirumuskan sebagai.
Meskipun demikian,
SARVI juga masih dimodifikasi menjadi MSARVI dengan rumus sebagai berikut.
Jensen (2005) juga
melaporkan bahwa Huete dan Liu (1994) telah menerapkan analisis
sensitivitas terjadap NDVI asli, indeks-indeks lain yang telah diperbaiki
(khususnya SAVI, ARVI, SARVI, MSARVI).
Kesimpulannya adalah:
·
jika terdapat koreksi atmosfer secara
menyeluruh maka akan muncul lebih banyak gangguan dari respons spektral tanah
(soil noise) sehingga SAVI dan MSRAVI merupakan persamaan terbaik, sementara N
DVI dan ARVI justru yang paling buruk.
·
Apabila dilakukan koreksi atmosfer
secara parsial untuk menghilangkan hamburan Rayleigh dan komponen ozon maka
SARVI dan MSARVI merupakan formula terbaik, sementara NDVI dan ARVI tetap yang
paling buruk.
·
Apabila tidak ada koreksi atmosfer sama
sekali, SARVl merupakan formula yang relatif kurang baik, tetapi mempunyai
derau (noise) terkecil di antara yang lain, sementara NDVI dan ARVI tetap saja
merupakan indeks yang paling banyak mengandung derau dan kesalahan
Ratio Vegetation Index
(RVI) yang melibatkan saluran merah dan inframerah dekat pun kemudian
dimodifikasi dengan melibatkan saluran inframerah tengah, dan menghasilkan RSR
(Reduced Simple Ratio) dengan rumus sebagai berikut (Chen, et al., 2002).
MAX dan MIN adalah
nilai maksimum dan minimum pada panjang gelombang terkait.
Di samping menggunakan
saluran inframerah tengah, ada pula indeks vegetasi yang memanfaatkan kombinasi
saluran inframerah dekat, merah dan hijau, yaitu Triangular Vegetation Index
(TVI):
TVI
= 0’ 5(120(𝛒InframerahDekat
-𝛒Hijau
)) - 200(𝛒Merah-
𝛒Hijau) (7.25)
Beberapa indeks
vegetasi memanfaatkan panjang gelombang yang lebih spesifik, yang berpusat pada
panjang gelombang tertentu. Karnelie et al. (2001), misalnya, memfokuskan diri
pada panjang gelombang yang berpusat di 0,469 μm (biru), 0,555 μm (hijau), dan
0,645 um (merah). Ketiga area panjang gelombang ini menurut kedua peneliti
tersebut berkorelasi kuat dengan panjang gelombang 1,6 (inframerah tengah) dan
2,1 μm (inframerah tengah II/inframerah jauh), khususnya pada kondisi langit
jernih. Hubungannya dinyatakan sebagai persamaan empiris linier sebagai
berikut:
Berdasarkan ketiga
persamaan empiris itu dan hubungan yang lain kemudian dikembangkan dua macam
indeks yang dipandang bebas dari pengaruh aerosol, yaitu AFRI16 μm
dan AFRI 2,1 μm, dengan rumus sebagai berikut.
Kedua peneliti juga
melaporkan bahwa di bawah kondisi langit jernih. kedua rumus AFRI tersebut
sangat mirip dengan NDVI-akan tetap kalau kolom atmosfer mengandung asap atau
gas sulfat maka keduanya lebih unggul dibandingkan NDVI. Dengan kata lain AFRI
sangat bermanfaat dalam kajian vegetasi di bawah kondisi atmosfer yang berasap,
polusi karena aktivitas manusia, dan juga asap vulkanik.
Selain di panjang
gelombang 0,449 μm, 0,555 μm, dan 0,645 μm, panjang gelombang merah yang
berpusat di 0,700 μm dan 0,670 μm juga dipandang bermanfaat dalam menonjolkan
kandungan klorofil vegetasi. Rumus CARI (Chlorophyll Absozption in Reflectance
Index) dikembangkan dan kemudian dimodifikasi menjadi TCARI (Transformerd
Chlorophyll Absorption in Reflectance Index), dengan rumus sebagai berikut
(Jensen, 2005).
Penggunaan
saluran-saluran tersebut dikaitkan dengan kenyataan bahwa serapan maksimum oleh
klorofil a terjadi pada panjang gelombang 0,670 um, sementara 0,700 um
merupakan lokasi transisi dari serapan kuat oleh klorofil menjadi pantulan
tajam oleh struktur internal daun (dalam hal ini lapisan spongy pada mesofil
daun). Area 0,700 um sering disebut sebagai area ujung merah (red edge).
Berdasarkan TCARI
kemudian dikembangkan juga OSAVI karena para peneliti juga menjumpai bahwa
TCARI sensitif pada latar belakang tanah khususnya pada vegetasi dengan leaf
area index (LAI) yang kecil. Daughtry et al. (2000) memgembangkan Optimised
Soil-adjusted Vegetation Index (OSAVI) sebagai berikut.
dan juga nisbah atau
rasio antara TCARI dan OSAVI:
Sementara itu Gupta et
al. (2001) menjumpai bahwa pada citra Landsat TM, NOAA AVHRR, IIRS-LISS
tersebut terdapat wilayah panjang gelombang inframerah dekat, yaitu 0,770-
0,860 μm dan 0,760 -0,900 μm, serta 0,725- 1,100 μm. Sayangnya, ketiga sensor
meliput wilayah serapan uap air juga. Kemudian Gupta “menyingkirkan” wilayah
spektral yang peka serapan uap air dan menciptakan indeks vegetasi baru (New
Vegetation Index, NVI), dengan rumus berikut.
Penggunaan jumlah
saluran yang lebih banyak lagi, yaitu memanfaatkan indeks kehijauan dari
transformasi Tasseled-cap (Kauth dan Thomas) didemonstrasikan oleh Hay et al.
(1979). Rumus ini dinamakan GRABS (Greeness above Bare Soil), sebagai berikut:
GRABS = G- 0,09178B +
5,58959 ………………………………………………(7.35)
di mana G adalah
Greeness dan B adalah Soil Brightness, mengacu ke citra MSS yang dikoreksi
dengan memperhatikan faktor sudut matahari dan gangguan kabut. Meskipun
demikian, diperoleh hasil bahwa GRABS serupa dengan Greenes Vegetation Index
dari Kauth dan Thomas karena kontribusi B hanya kurang dari 10% dari G.
Tabel 7.1 Beberapa
formula indeks vegetasi yang sering digunakan dalam penelitian penginderaan
jauh
|
|
||||
Ratio Vegetation index
|
|||||
Normalised
Difference
Vegetation
Index
|
|||||
Transformasi
Tasseled-cap(Kauth dan Thomas)
|
Landsat
Multispectral Scanner (MSS)
Brightness
= 0,332*MSS1 + 0,603*MSS2+0,675*MSS3+0,262*MSS4
Greeness
= -0,283* MSS1- 0,660*MSS2+0,577*MSS3+0,388*MSS4
Yellow
= 0,899*MSS1 + 0,428*MSS2+0,076*MSS3-0,041*MSS4
Non-such
= 0,016*MSS1 + 0,131*MSS2-0,452*MSS3+0,882*MSS4
Landsat
TM
Brightness
= 0,2909*TM1+0,2493*TM2+0,4806*TM3+0,5568*TM4
+0,4438TM5+0,1706*TM7
Greeness
= 0,2728*TM1-0,2174*TM2-0,5508*TM3+0,7221*TM4
+0,4438TM5+0,1706*TM7
Wetness
= 0,1446*TM1+0,1761*TM2+0,3322*TM3+0,3396*TM4
-0,6210TM5+0,4186*TM7
|
||||
Indeks
Inframerah (II)
|
IndeksInframerah =
|
||||
Perpendicular
Vegetation
Index
(PVI)
|
PVI
=
|
||||
Greeness
Above Bare Soil (GRABS)
|
GRABS
= G – 0,09178*B + 5,58959
|
||||
Moisture
Stress Index
(MSI)
|
MSI
=
|
||||
Leaf
Relative Water
Content
Index (LWCI)
|
LWCI
=
|
||||
Middle
Infrared Index
(MidiR)
|
MidiR
=
|
||||
Soil
Adjusted
Vegetation
Index Modified Soil Adjusted Vegetation Index
|
SAVI
=
|
||||
Atmospherically
Resistant Vegetation Index (ARVI)
|
ARVI
=
|
||||
Soil
and Atmospherically Resistant Vegetation Index (SARVI)
|
SARVI
=
|
Sumber : Jensen, (2005)
7.4 ROTASI CITRA DAN
ANALISIS KOMPONEN UTAMA (PCA)
Berbagai transformasi
indeks vegetasi yang telah diuraikan tadi sebenarnya didasari oleh analisis
geometri dalam ruang spektral. Secara khusus, transformasi Tasselled-cap pun
dikembangkan melalui teknik rotasi sumbu-sumbu spektral. Rotasi dan
Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, untuk selanjutnya
disingkat PCA) merupakan cara pandang geometris atas distribusi piksel pada
ruang spektral, dan disertai dengan pengubahan kedudukan sumbu-sumbu spektral
melalui pemutaran dan penggunaan parameter statistik lain sehingga menghasilkan
sumbu-sumbu baru (atau citra baru) dengan distribusi nilai piksel yang lebih
jelas dalam menyajikan kenampakan objek.
7.4.1Rotasi Citra
Citra saluran jamak
selalu menampilkan distribusi piksel dalam kenampakan yang spesiiik (lihat Bab
3 untuk feature space). Distribusi ini dapat diubah sehingga kenampakan pada
citra pun berubah. Rotasi citra merupakan teknik pemutaran sumbu-sumbu saluran
dengan sudut tertentu sehingga diperoleh distribusi piksel yang optimal.
Pengubahan distribusi ini berakibat pada perubahan nilai vektor piksel (karena
koordinatnya berubah).
Perubahan yang diakibatkan
oleh rotasi dengan sudut ɵ ini ialah dihasilkannya citra baru, yang dapat
didefinisikan sebagai berikut (Kostwinder et al., 1991).
BV rot-1 =
BV saluran_2 x Cos (ɵ) – BV saluran_2 x Sin (ɵ) ……………………(7.36)
BV rot-2 =
BV saluran_1 x Cos (ɵ) + BV saluran_2 x Sin (ɵ)
……………………(7.37)
7.4.2 Analisis Komponen
Utama (PCA)
Analisis komponen utama
atau analisis faktor (Principal Component Analysis, PCA, atau Transformasi
Karhunen Loeve) merupakan teknik rotasi yang sangat spesiiik. PCA pada dasarnya
adalah teknik rotasi yang diterapkan pada sistem koordinat multisaluran (bahkan
lebih dari 3 dimensi) sehingga menghasilkan citra baru dengan jumlah 'saluran'
yang lebih sedikit. Dengan kata lain, PCA mampu mengurangi dimensionalitas
data. Oleh karena itu, PCA sering dipandang sebagai teknik kompresi
(pemampatan) infomasi yang sangat efisien. Manfaat utama PCA ini ialah
efisiensi dalam pengamatan visual citra (tidak usah terlalu banyak
membandingkan citra beberapa saluran sekaligus), serta elisiensi proses
klasifikasi multispektral (mengurangi jumlah saluran masukan, tanpa mengurangi
kandungan infomasi).
Gambar 7.5 Prinsip
kerja PCA: berdasarkan informasi multidimensional (atau multisaluran)
ditentukanlah sumbu-sumbu baru dalam jumlah yang lebih sedikit, namun memuat
sebagian besar iniormasi yang dimiliki oleh seluruh saluran. Pada gambar ini
terlihat, dalam penyederhanaan, dua saluran dapat 'diringkas' menjadi satu saluran
baru.
Pada Bab 3 telah
disinggung bahwa korelasi antarsaluran justru mengurangi kandungan informasi
citra. Semakin rendah korelasi saluran-saluran tersebut, semakin tinggi potensi
mereka untuk saling melengkapi. Contoh pada Gambar 7.6 menunjukkan bahwa
saluran A dan saluran B berkorelasi kuat sehingga distribusi piksel. kedua
saluran tersebut cenderung linier. Bertitik-tolak dari gagasan ini sebenarnya
dapat diturunkan informasi berdasarkan satu saluran baru dengan menggunakan
koordinat baru, yang menggantikan saluran A dan B. Pada sumbu baru
terlihat bahwa piksel terdistribusi lebih merata ,dibandingkannada sumbu-sumbu
asli.
Bila saluran yang
dipertimbangkan ternyata lebih dari dua maka PCA akan mencari sudut rotasi yang
paling tepat sehingga dihasilkan 'sumbu-sumbu' baru yang saling tidak
berkorelasi. Sumbu-sumbu ini disebut sebagai sumbu utama (principal component).
Sumbu utama pertama, PC1, terletak pada posisi distribusi piksel yang
variansinya paling besar (sumbu panjang pada Gambar 7.5 mempunyai nilai
variansi yang lebih besar dari pada dua sumbu asli). Sumbu utama kedua, PC2,
adalah sumbu baru yang dibuat tegak lurus terhadap PC1, dengan nilai variansi
terbesar setelah PC1. Bila saluran A dan B ternyata masih 'ditemani' oleh
saluran C maka Sumbu PC3, tentu saja, tegak lurus terhadap PC1 dan PC2.
Untuk memutuskan
rotasi, PCA membutuhkan informasi mengenai statistik citra, khususnya korelasi
antarsaluran, variansi, dan kovariansi. Berdasarkan informasi ini, disusun
matriks korelasi R dan matriks variansi-kovariansi citra multisaluran tersebut.
Baik S maupun R menjelaskan bentuk sebaran nilai piksel (berupa elips kalau
masukannya dua saluran, dan berupa elipsoida kalau masukannya tiga saluran atau
lebih). Melalui aljabar linier, informasi berupa nilai-eigen (eigenvalue)
diturunkan. Nilai-eigen ini memberikan informasi mengenai panjang sumbu-sumbu
utama yang baru pada elipsoida piksel. Nilai-eigen 'ditemani' oleh informasi
vektor-eigen (eigenvectors), yang menjelaskan tentang arah sumbu-sumbu utama
yang baru dalam elipsoida tersebut.
Panjang sumbu-sumbu
utama yang baru (PC 1, PC2, PC3, ...) dan arahnya, yang ditentukan oleh
nilai-eigen dan vektor-eigen, memberikan nilainilai piksel yang baru, yang
telah ter-redistribusi (atau ter-reproyeksi). Berdasarkan banyak penelitian,
berapa pun jumlah saluran masukannya, hanya tiga komponen saja yang memuat
informasi seluruh saluran pada persentase terbesar, yaitu PC1 (sekitar 90%),
PC2 (sekitar 50-7%), dan PC3 (sekitar 2%). Bila yang digunakan sebagai masukan
adalah ketujuh saluran TM-Landsat, misalnya, maka penggunaan ketiga 'saluran'
baru ini sudah mewakili semuanya.
Campbell (2002)
memberikan deskripsi yang mudah dipahami mengenai PCA ini. Menurut Campbell,
pada dasarnya PCA merupakan transformasi yang mencoba mengindentirikasi
persamaan berupa kombinasi linier yang paling optimum dari beberapa saluran
masukan, yang dapat menghitung variasi nilai-nilai piksel pada citra. Apabila
terdapat empat saluran spektral yang berturut-turut dinamakan B1, B2, B3, dan
B4 maka kombinasi linier mi berbentuk sebagai berikut:
A = C1B1
+ C2B2 + C3B3 + C4B4……………………………………………..(7.38)
di mana A adalah
“saluran” baru yang dihasilkan, dan C1, C2, C3,
serta C4 adalah suatu koefisien yang diterapkan pada masing-masing
saluran.
Gambar 7.6 PC1 sampai
dengan PC6 hasil transformasi PCA atas keenam saluran Thematic Mapper Landsat
daerah Maros. Perhatikan bahwa PC1 memuat informasi spektral paling banyak dan
secara visual jelas, sedangkan kenampakan PC6 justru tidak jelas.
Misalnya C1
= 0,35, C2 = -0,08, C3 = 0,36 dan C4 = 0,86;
sedangkan suatu piksel pada B1 bernilai 28, lalu piksel pada posisi
yang sama pada B2 =29, pada B3 = 21 dan pada B4
= 54, maka piksel pada posisi yang sama tersebut menjadi nilai baru pada
'saluran' baru A, dengan nilai : 61,48. Karena B1, B2, B3,
dan B4 (atau dapat lebih banyak lagi pada sistem multispektral
dengan saluran yang lebih banyak, misalnya Landsat ETM+_ atau ASTER), maka
nilai barunya juga bervariasi.
Nilai optimum untuk
setiap koefisien diperoleh melalui prosedur statistik yang mampu memastikan
bahwa nilai-nilai koefisien yang dihasilkan mewakili nilai variasi yang
terbesar dalam satu himpunan data citra terSebut. Dengan kata lain, pada contoh
di atas, keempat saluran (B1 hingga B4) digantikan oleh
saluran baru A hasil pembentukan melalui kombinasi linier, yang mampu mewakili
variasi terbesar dari keempat saluran. Prosedur yang sarna mampu menurunkan
himpunan kedua untuk koefisien-koefisien E1, E2, E3,
dan E4, yang dalam persamaan kombinasi linier yang sama akan mampu
menurunkan “saluran” baru kedua (sebut saja D) dengan kandungan informasi yang
memuat variasi lebih kecil dibanding A.
Penjelasan yang lebih
matematis atas uraian Campbell diberikan oleh Gao (2010), dengan memberikan
contoh perhitungan PCA langkah demi langkah, mulai dari contoh pasangan nilai
piksel pada dua saluran hingga perhitungan matriks variansi-kovariansi dan
penentuan nilai factor loadingnya sebagai berikut. Misalkan ada sejumlah N
(N=8) pasangan nilai piksel pada saluran 1 dan saluran 2 suatu citra seperti
tersaji pada Tabel 7.2. Berdasarkan pasangan nilai piksel itu, matriks
variansi-kovariansi V dapat dihitung melalui persamaan berikut.
Setelah matriks
variansi-kovariansi ditentukan maka matriks korelasi R dapat ditentukan
berdasarkan rumus:
Tabel 7.2 pasangan
nilai piksel untuk N=8 dengan hasil perhitungan komponen I (PCI) dan komponen 2
(PC2)
Piksel
|
Nilai di
|
Nilai di
|
(xi -
)
|
Nilai di
|
Nilai di
|
|
ke
|
sai_1
|
sai_2
|
sai_1
|
sai_2
|
PC-1
|
PC-2
|
1
|
2
|
4
|
-3
|
-1
|
3,83
|
2,30
|
2
|
4
|
5
|
-1
|
0
|
6,06
|
2,07
|
3
|
3
|
6
|
-2
|
1
|
5,75
|
3,45
|
4
|
4
|
3
|
-1
|
-2
|
4,99
|
0,38
|
5
|
7
|
8
|
2
|
3
|
10,20
|
2,99
|
6
|
7
|
6
|
2
|
1
|
9,13
|
1,30
|
7
|
8
|
5
|
3
|
0
|
9,43
|
-0,08
|
8
|
5
|
3
|
0
|
-2
|
5,83
|
-0,16
|
5
|
5
|
Modifikasi
dari Gao,2010
Dengan kata lain,
berdasarkan data pada contoh kedua saluran berbagai informasi sebesar 44%.
Matriks variansi setelah transformasi harus memenuhi kondisi sebagai berikut:
|V
–– λ
I | = 0 …………………………………………………………(7.41)
di mana I = matriks
identitas dan λ
= matriks nilai eigein.
Bentuknya adalah
sebagai berikut:
Untuk proses
selanjutnya, Gao (2010) menyebutkan tiga hal penting yang perlu diperhatikan
dari matriks variansi-kovariansi V dan matriks nilai eigen λ yaitu:
Total variansi dari dua saluran spektral
(yaitu 6 + 4 = 10) sebelum proses transformasi sepenuhnya sama dengan jumlah
total nilai eigen (yaitu unsur-unsur diagonal utama: 7,36 + 2,64 = 10) setelah
proses transformasi. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa PCA tidak
menciptakan informasi baru dalam komponen-komponen yang dihasilkan, melainkan
hanya mendistsribusikan kembali informasi yang tersedia melalui
komponen-komponen yang dihasilkan.
2.
Koefisien korelasi antara dua 'saluran'
baru yang tercipta (setelah transformasi) adalah nol, yang berarti bahwa
kandungan informasi pada PC1 sama sekali tidak bertampalan dengan informasi
pada PC2. Dengan alasan ini maka matriks nilai eigen biasanya ditulis sebagai
matriks satu-dimensi [7,36 2,64].
3.
Sebelum transformasi, saluran 1 memuat
6/(6+4) atau 60% dari keseluruhan informasi yang ada pada kedua saluran.
Setelah transformasi, PC1 memuat 7,36/(7,36+2,64) atau 73,6% informasi dari
kedua saluran asli. Sebaliknya, saluran 2 sebelumnya memuat 4/(6+4) atau 40%
infomasi dan kemudian jatuh menjadi hanya 2,64/(7,36+2,64) atau 26,40/0 dari
total informasi yang dipunyai oleh kedua saluran. Dengan demikian, setiap PC1
dari suatu transformasi PCA selalu memuat paling banyak informasi dibandingkan
komponen-komponen berikutnya.
Untuk memproyeksikan
kandungan informasi saluran-saluran masukan X ke citra-citra komponen baru Y,
perlu ditentukan matriks transformasi G. Tujuan transformasi citra ini adalah
untuk membangun suatu ruang spektral (feature space) baru yang mempunyai kovariansi
antarkomponen yang bernilai nol.
Y
= GX…………………………………………………………………………..(7.42)
G merupakan matriks
rotasi dengan bentuk sebagai berikut:
G juga harus memenuhi
kondisi berikut : G-1 = GT
Dengan kata lain.
matriks inversi sama dengan matriks transposisi sehingga nilai-nilai piksel
tidak diperbesar atau diperkecil setelah transformasi.
G ditentukan oleh
matriks variansi-kovariansi dan matriks nilai eigen secara bersama-sama, atau:
Solusi dari
persamaan-persamaan di atas menghasilkan g12: = -0,5372 dan g22 = 0,8435.
Dengan demikian:
Matriks G ini sering
kali disebut juga sebagai matriks pembebanan (loading matrix) dalam statistik,
dan merepresentasikan sudut rotasi dari domain spektral citra lama (saluran 1
dan saluran 2 yang mewakili berturut-turut sumbu x dan y) menjadi citra baru
berupa PC1 dan PC2, yang diwakili oleh x’ dan y", dengan sudut rotasi 0 =
36°06’.
Nilai elemen dalam
matriks G mengatur nilai-nilai piksel pada saluran 'mentah' agar disusun
kembali dalam tiap komponen. Nilai piksel keluaran setelah transformasi
merupakan suatu kombinasi linier seluruh nilai piksel masukan. Mengacu kembali
ke contoh delapan piksel pada Tabel 7.2, koordinat spektral (nilai piksel pada
dua sumbu baru PC1 dan PC2) kedelapan piksel diberikan dalam dua kolom terakhir
pada tabel tersebut.
7.5 TRANSFORMASI KAUTH
DAN THOMAS (TASSELED-CAP)
Uraian indeks vegetasi
baru menyebutkan transformasi yang menggunakan dua saluran, khususnya saluran
merah dan inframerah dekat. Beberapa transformasi lain, terutama yang
berdasarkan data MSS Landsat, dikembangkan dengan menggunakan seluruh saluran
(MSS4, MSS5, MSS6, MSS7). Contoh paling terkenal ialah transformasi Kauth dan
Thomas (1976) yang kemudian lebih sering dikenal sebagai Tasseled Cap
Transformation (TCT).
Transformasi Kauthdan
Thomas (1976) memanfaatkan feature space pada keempat saluran sekaligus. Telah
disebutkan bahwa pada feature space tiga saluran, sebaran piksel cenderung
membentuk kenampakan seperti 'topi berkucir atau berhias rumbai-rumbai. Oleh
karena itu, transformasi Kauth dan Thomas sering juga disebut sebagai
Tasseled-cap Transformation. Prinsip transformasi ini ialah penyusunan kembali
sumbu-sumbu saluran (empat saluran MSS) dalam ruang spektral sehingga
sumbu-sumbu tersebut terputar (terotasi) ke arah-arah tertentu, yang satu sama
lain ortogonal. Masing-masing sumbu ini tidak lagi disebut sebagai saluran
MSS4, MSS5, MSS6, dan MSS7, melainkan sebagai sumbu kecerahan (brightness),
kehijauan (greeness), kelayuan ( yellowness), dan ketidaktentuan (none such).
Melalui sistem koordinat yang baru ini, garis tanah dan garis vegetasi dapat
direpresentasikan dengan lebih jelas. Penyusunan kembali sumbu-sumbu ini
seperti pada PCA, namun dengan pertimbangan sumbu terpanjang yang
merepresentasikan variasi kecerahan tanah.
Sumbu kecerahan
berkaitan dengan variasi pantulan latar belakang tanah, kemudian sumbu
kehijauan berhubungan dengan variasi pantulan vegetasi hijau, sedangkan sumbu
kekuningan menggambarkan variasi dalam proses menguningnya daun yang
menua/melayu. Beberapa penulis menafsirkan sumbu ketidaktentuan sebagai
ekspresi kondisi atmosfer. Berdasarkan transformasi ini, beberapa transformasi
diturunkan oleh Kauth et al. (1979) dan Thompson dan Wehmanen (1980). Empat
transformasi tersebut ialah Soil Brightness Index (SBI), Green Vegetation Index
(GVI), YeIIow Stuff Index (YVI), dan None Such Index (NSI):
SBI = 0.332 MSS4 +
0.603 MSS5 + 0.675 MSS6 + 0.362 MSS7
(7.45)
GVI = - 0.283 MSS4 +
-0.660 MSS5 + 0.577 MSS6 + 0.388 MSS7 (7.46)
YVI = -0.899 MSS4 +
0.428 MSS5 + 0.076 MSS6 – 0.041 MSS7 (7.47)
NSI = -0.016 MSS4 +
0.131 MSS5 – 0.452 MSS6 + 0.882 MSS7 (7.48)
Kehadiran sensor TM
(Thematic Mapper, pada Landsat 4 dan Landsat 5) yang mempunyai 7 saluran
mendorong para peneliti untuk melihat efek penggunaan 6 saluran terhadap
pengembangan transformasi Kauth dan Thomas tersebut. Crist (1983, dalam Mather,
1987), kemudian Crist dan Cicone (1984) meneliti hal ini dengan memperhatikan
efek rotasi keenam saiuran. Hasil menarik dari penelitian ini ialah bahwa
fungsi kecerahan RI (hasil rotasi yang menggambarkan sumbu kecerahan) pada MSS
dan TM tidak berkorelasi tinggi. Meskipun demikian, fungsi kehijauan (R2)
keduanya berkorelasi cukup tinggi. Pada data TM ini diperoleh informasi
berharga pada sumbu ketiga, yaitu sumbu kebasahan (wetness). Hasil modifikasi
Tasseled-cap transformation untuk data TM Landsat saluran 1 -5 dan 7 disajikan
sebagai berikut (nilai-nilai yang tercantum menunjukkan koefisien pengali pada
tiap saluran) (Gao,2010).
Sumbu
|
TM1
|
TM2
|
TM3
|
TM4
|
TM5
|
TM7
|
|
baru
|
|||||||
Brightness
|
0,3037
|
0,2793
|
0,4743
|
0,5585
|
0,5082
|
0,1863
|
(7.49)
|
Greeness
|
-0,2848
|
-0,0,2435
|
-0,5436
|
0,7243
|
0,0840
|
-0,1800
|
(7.50)
|
Wetness
|
0,1509
|
0,1973
|
0,3279
|
0,3406
|
-0,7112
|
-0,4572
|
(7.51)
|
Goa (2010) juga
menambahkan bahwa parameter berikut dapat digunakan untuk menghilangkan kabut (
dehazing) citra Landsat TM.
Sumbu
|
TM1
|
TM2
|
TM3
|
TM4
|
TM5
|
TM7
|
|
Baru
|
|||||||
Haze
|
0,8832
|
-0.0819
|
-0.458
|
-0.0032
|
-0.0563
|
0,0130
|
(7.52)
|
jika pada hasil
penelitian Richardson dan Wiegand diperoleh model dua dimensi (MSS7 vs MSS5),
dengan garis tanah dan garis vegetasi, maka hasil transformasi Tasselled Cap
pada data TM ini diperoleh model 3 dimensi (tiga sumbu: sumbu kecerahan, sumbu
kehijauan, dan sumbu kebasahan), yang menggambarkan bidang tanah dan bidang
vegetasi (lihat Gambar 7.7). Karena Landsat-7 ETM+ mempunyai nilai parameter
sensor yang agak berbeda dengan Landsat-5 TM maka formulasi untuk transformasi
brightness, greeness, dan wetness juga agak berbeda, seperti tersaji berikut
ini (Liu dan Mason, 2009).
Sumbu
|
EM1
|
ETM2
|
ETM3
|
ETM4
|
ETM5
|
ETM7
|
|
Baru
|
|||||||
Brightness
|
0,3561
|
0,3972
|
0,3904
|
0,6966
|
0,2286
|
0,1596
|
(7.53)
|
Greeness
|
-0.3344
|
-0.3544
|
-0.4566
|
0,6966
|
-0,0242
|
-0,263
|
(7.54)
|
Wetness
|
0,2626
|
0,2141
|
0,09266
|
0,0656
|
-0,5388
|
-0,5388
|
(7.55)
|
Adapun modifikasi
transformasi tasseled cap untuk Ikonos dan Quickbird tersaji berikut ini
(Nuvulur, 2007).
Sumbu baru
|
IKONOS
|
IKONOS
|
IKONOS
|
IKONOS
|
||
Saluran 1
|
Saluran 2
|
Saluran 3
|
Saluran 4
|
|||
(biru)
|
(hijau)
|
(merah)
|
(IM dekat)
|
|||
Brightness
|
0,326
|
0,509
|
0,560
|
0,567
|
(7.56)
|
|
Greeness
|
-0,311
|
-0,356
|
-0,325
|
0,819
|
(7.57)
|
|
Wetness
|
-0,612
|
-0,312
|
-0,081
|
-0,081
|
(7.58)
|
Sumbu baru
|
QUICKBIRD
|
QUICKBIRD
|
QUICKBIRD
|
QUICKBIRD
|
|
Saluran 1
|
Saluran 2
|
Saluran 3
|
Saluran 4
|
||
(biru)
|
(hijau)
|
(merah)
|
(IM dekat)
|
||
Brightness
|
0,319
|
0,542
|
0,49
|
0,604
|
(7.59)
|
Greeness
|
-0,121
|
-0,331
|
-0,517
|
0,780
|
(7.60)
|
Wetness
|
-0,652
|
-0,375
|
-0,639
|
-0,163
|
(7.61)
|
Gambar 7.7 Transformasi
Tasselled-cap berdasarkan data Thematic Mapper Landsat (Modifikasi dari Liu dan
Mason (2009) dan Gao (2010)
7.6 APLIKASI TRANSFORMASI KHUSUS DALAM STUDI
PENGINDERAAN JAUH
Transformasi khusus
sebenarnya dimulai dari berbagai penelitian eksperimental menggunakan
spektrometer atau radiometer di lapangan. Berbagai peneliti menyajikan hasil
penelitian mereka pada berbagai jurnal, sehingga tidak cukup untuk disajikan
pada ruang yang sesempit ini. Dalam penerapannya, transformasi khusus ini
digunakan untuk berbagai studi, mulai dari pengamatan tahap-tahap pertumbuhan
vegetasi (fenologi) (Shibayama dan Akiyama, 1988).
Untuk transformasi
indeks vegetasi, terdapat pola yang serupa dalam metode pemetaan suatu fenomena
biofisik. Pertama-tama, pengukuran langsung ataupun pengumpulan sampel di
lapangan dilakukan. Penentuan lokasi sampel ini didasari oleh pola spektral
atau warna yang tampak pada citra. Hasil pengamatan atau analisis laboratorium
ini kemudian dinyatakan secara kuantitatif, dan dikaitkan dengan pasangan
nilai-nilai spektral saluran 1, 2, 3, …, n pada posisi piksel yang sama.
Transformasi indeks vegetasi diterapkan terhadap pasangan nilai-nilai spektral
sampel ini.
Setelah itu, persamaan
regresi yang mengekspresikan hubungan antara x (parameter biofisik yang
diamati) dengan y (nilai spektral pada tiap saluran dan hasil transformasi).
Pasangan x dan y yang memiliki nilai koefisien determinasi (r2)
terbesar akan dipilih. Dengan demikian, persamaan regresi yang diperoleh
tinggal dibalik (dari y=f1(x) menjadi x= f2 (y)) untuk
diterapkan pada citra indeks vegetasinya. Hasilnya adalah distribusi
kuantitatif fenomena biofisik yang diamati. Nilai yang muncul pada 'peta'
distribusi fenomena biofisik ini masih perlu diklasifikasi kembali berdasarkan
kelas-kelas interval tertentu, sesuai dengan kebutuhan pengguna.
Hal penting yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan metode semacam ini ialah perlunya kalibrasi
ataupun pertimbangan mengenai kemungkinan perbedaan informasi spektral objek
antara tanggal perekaman dengan tanggal pengambilan sampel. Pada
penelitian-penelitian eksperimental, seperti halnya yang dilakukan oleh
Richardson dan Wiegand (1977), perekaman oleh satelit dan pengambilan data
dilakukan bersamaan hal ini sulit rasanya untuk dapat diterapkan di Indonesia,
mengingat biaya dan kemampuan prakiraan cuaca di negeri ini.
Pertimbangan lain ialah
dalam hal variabilitas spasial lingkungan fisik. Vegetasi yang sama, yang
tumbuh pada kondisi batuan atau tanah yang berbeda dan dengan kondisi medan
yang berbeda pula, akan tercatat dengan nilai spektral yang berbeda, Kontrol
atas variabilitas spasial semacam ini dapat dilakukan mengintroduksikan
zona-zona ekologis berupa peta satuan medan atau satuan lahan, dan dapat pula
berupa peta satuan agro-ekologi.
PCA biasa diterapkan
dalam bidang geologi, terutama untuk negara-negara beriklim sedang ataupun
kering, yang mempunyai wilayah dengan banyak singkapan batuan atau secara
musiman tidak tertutup vegetasi. Hasil penelitian beberapa peneliti menunjukkan
bahwa PCA ini mampu mempertajam perbedaan litologi. Untuk Indonesia, cara
serupa mungkin kurang tepat, kecuali kalau diterapkan di pulau-pulau kecil
dengan curah hujan rendah di Indonesia Timur. Gambar 7.8 dan 7.9
menyajikan citra asli yang mewakili daerah Maros Sulawesi Selatan, serta hasil
transformasinya.
Gambar 1.8 Citra-citra
saiuran ash yang dihasilkan oleh sensor ETM+ Landsat, daerah sekitar Maros,
Suiawesi Selatan. (a) ETMI (biru), (b) ETM2 (hijau). (c) ETM3 (merah), (d) ETM4
(inframerah dekat), (e) ETM5 (inframerah tengah yang pertama), (f)
ETM7(inframerah tengah yang kedua)
7.7 MODEL FOREST COVER
DENSITY (FCD)
Pada paruh kedua dekade
90-an, kesadaran bahwa penggunaan indeks Vegetasi kadang kala tidak mampu
menghasilkan estimasi yang akurat tentang kerapatan dan struktur vegetasi hutan
tropis telah mendorong Perkembangan model baru yang disebut dengan forest
covers density (FCD) mapper (Roy et al., 1997; Rikimaru et al., 2002; Riklmaru
dan Miyatake, 1997). Lebih dari itu, model pemetaan. vegetasi berbasis
transformasi FCD ini kemudian diadopsi oleh Internacronal Timber Trade
Organization (ITTO) yang bermarkas di Jepang, dan dikembangkan menjadi
Perangkat lunak tersendiri. Banyak penelitian telah dilakukan dengan menggunakan FCD, baik di Indonesia
maupun negara-negara tropis lainnya, meskipun tidak selalu memberikan hasil
yang sangat akurat. Lepas dari hal itu, model FCD menarik untuk dibahas karena
berbeda dengan transformasi indeks vegetasi lain yang kebanyakan hanya
mengandalkan informasi spektral pada saluran merah dan inframerah dekat-model
ini memanfaatkan keragaman spektral dari biru hingga termal dan sangat sesuai
untuk saluran-saluran spektral Landsat TM maupun ETM+.
Secara garis besar,
model FCD merupakan model transformasi yang rumit. Untuk menurunkan nilai
indeks kerapatan vegetasi hutan, FCD mensyaratkan pembentukan model-model
indeks lain terlebih dahulu, yang disebut dengan index vegetasi (vegetation
index, VI), indeks tanah terbuka (bare soil index, BI), indeks bayangan
(shadow index, SI), dan indeks termal (themal index, TI). Kombinasi VI dan SBI
digunakan untuk menurunkan indeks baru yang disebut kerapatan vegetasi
(vegetation density, VD); sementara SI dan TI digunakan untuk menurunkan indeks
bayangan tajuk (shadow-scaled index, SSI). Selanjutnya, integrasi VD dan SSI
digunakan untuk menurunkan nilai kerapatan tajuk vegetasi hutan atau FCD,
seperti tersaji pada Gambar 7.10.
7.7.I Model-model
Indeks dalam FCD
Indeks-indeks dalam FCD
saling berhubungan dan menunjukkan kondisi komposisi struktural vegetasi
tertentu, seperti tersaji pada tabel berikut ini.
Tabel 7.3 Hubungan
antarindeks dalam model FCD
FCD Tinggi
|
FCD sedang
|
Padang rumput
|
Tanah terbuka
|
|
AVI
|
Tinggi
|
Sedang
|
Tinggi
|
Rendah
|
BI
|
Rendah
|
Rendah
|
Rendah
|
Tinggi
|
SI
|
Tinggi
|
Sedang
|
Rendah
|
Rendah
|
TI
|
Rendah
|
Sedang
|
Sedang
|
Tinggi
|
Sumber : Rikimaru et
al., 2002
Gambar 7.10 Diagram
alir proses penyusunan peta kerapatan liputan hutan (FCD) menurut Sumber :
Rikimaru et al., (2002)
1. Indeks Vegetasi AVI
Indeks vegetasi dalam
model FCD dinyatakan dengan Advanced Vegetarian Index (AVI), yaitu indeks
vegetasi untuk menonjolkan klorofil-a, yang dirumuskan sebagai berikut
(Rikimaru et al., 2002).
Apabila (IMD-M) _<_
O, maka AVI : 0; dan
Apabila (IMD-M) > 0,
maka
Supaya rumus ini
bekerja dengan baik maka diperlukan syarat-syarat, yaitu bahwa saluran
Inframerah dekat (IMD) dan merah (M) harus dinormalisasikan terlebih dahulu
julat datanya. Saluran-saluran yang terlibat di sini mengacu ke saluran-saluran
spektral pada Landsat TM dan ETM+.
2. lndeks Tanah Terbuka
(Bl)
Bare Soil Index (BI)
dikembangkan dalam model FCD berdasarkan asumsi bahwa nilai indeks vegetasi
kurang dapat dipercaya pada kondisi tutupan vegetasi kurang dari 50%. Untuk
meningkatkan reliabilitas estimasi status vegetasi maka FCD menambahkan BI yang
dibangun dengan melibatkan informasi spektral inframerah tengah. Asumsi ini
menurut Rikimaru et al. (2002) didasari oleh hubungan timbal balik yang kuat
antara keberadaan tanah dan vegetasi (semakin dominan tanah, semakin sedikit
vegetasi, begitu sebaliknya). Dengan demikian, kombinasi indeks vegetasi yang disatukan
dalam analisis beserta indeks tanah akan menempatkan penilaian status atau
kondisi vegetasi hutan dalam suatu kontinuum, dengan julat dari vegetasi rapat
ke tanah terbuka.
Rumus BI adalah sebagai
berikut:
di mana 0 <BI<200
Pada rumus tersebut,
IMTg adalah saluran inframerah tengah (sama dengan saluran 5 Landsat ETM+), M
adalah saluran merah (saluran 3 pada ‘Landsat ETM+), dan B adalah saluran biru
(sama dengan saluran 1 pada Landsat ETM+). Rikimaru et al. (2002) menambahkan
bahwa julat ini kemudian harus
dikonversi ke julat 8 bit (0-255).
3. Indeks Bayangan (SI)
Salah satu keunggulan
dari model FCD adalah kemampuan untuk mengakomodasi aspek kerapatan vertikal
dan komposisi struktural yang terbentuk oleh strata vegetasi yang berbeda. Indeks
bayangan (Shadow Index, SI) memanfaatkan (a) informasi spektral pada bayangan
hutan itu sendiri, dan (b) informasi termal yang dipengaruhi oleh kehadiran
bayangan. Indeks bayangan dirumuskan berdasarkan ekstraksi radiansi spektral
yang rendah dari saluran-saluran spektral tampak. Rumus Shadow Index SI adalah
sebagai berikut.
4. Indeks Termal (T l)
Rumus Indeks Termal
(Thermal Index, TI) dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa ada dua hal yang
menyebabkan area di dalam hutan menjadi relatif lebih sejuk. Dua penyebab ini
adalah (a) kanopi menahan masuknya energi matahari menembus sampai ke bawah
liputan pepohonan, dan (b) dedaunan melakukan evapotranspirasi sehingga
temperatur menjadi lebih rendah. Model TI dikembangkan dengan memanfaatkan
saluran inframerah termal (saluran 6) pada citra Landsat TM dan Landsat ETM+.
7.7.2 Komponen Turunan
Lanjut untuk Membangun FCD
Berdasarkan Indeks
Vegetasi, Indeks Tanah, dan Indeks Bayangan, kemudian diturunkan komponen
penentu FCD, yaitu (a) Kerapatan Vegetasi ( Vegetation Density, VD), (b)
Deteksi tanah hitam ( black Soil detection) yang digunakan untuk menentukan
AdVanced Shadow Index (ASI) dan Scaled Shadow lndex (SSI). VD diturunkan
melalui perpaduan antara AVI dengan SI. Cara perpaduannya adalah dengan
menerapkan principal component analysis (PCA). Pada dasarnya hubungan antara
AVI dengan SI adalah negatif dan keduanya cenderung berkorelasi cukup kuat.
Berdasarkan analisis PCA ini kemudian ditentukan titik 0% dan titik 100% untuk
menghasilkan citra baru yang disebut dengan VD.
Sementara itu, black
Soil detection diperoleh dengan memadukan SI dan TI. Tanah-tanah hitam merupakan
indikator proses tebang-bakar pada mekanisme pembersihan lahan di hutan-hutan
tropis dan merupakan salah satu sasaran dari pemetaan dengan FCD. Tanah-tanah
berwarna hitam ini berbeda dari bayangan, dalam hal temperaturnya yang relatif
tinggi karena menyerap panas. Secara teoretis, area bayangan selalu
bertemperatur rendah, tetapi area bayangan kadang kala sulit dibedakan dari
tanah-tanah hitam seperti tersebut di atas. Apabila terdapat ketidaksesuaian
antara SI dan TI (satu rendah dan satunya lagi tinggi) maka tanah hitam dapat
dideteksi.
ScaIed Shadow Index
(SSI) diperoleh berdasarkan SI yang diproses terlebih dahulu menjadi Advanced
Sliadow Index (ASI). Rikimaru et al. (2002) menyatakan bahwa SSI dikembangkan
supaya Sl bisa diintegrasikan dengan VI. Wilayah-wilayah dengan nilai SSI = 0
adalah wilayah yang juga nilai bayangannya (SI) = 0. Wilayah di mana SSI = 100
adalah area dengan tutupan bayangan 100%. Iulat nilai ini kemudian dijadikan
dasar untuk menskalakan kembali nilai SI menjadi SSI yang dinormalisasi melalui
proses transformasi linier, di mana julat asli SI diubah menjadi 0-100, untuk
mewakili persentase tutupan 0 -100%.
7.7.3 Integrasi Seluruh
Komponen untuk Membangun FCD
Sekali seluruh komponen
penyusun telah terbentuk maka FCD pun dapat diturunkan dengan rumus berikut.
Proses keseluruhan
untuk membangun FCD bisa dilihat pada Gambar 7.11.
7.8 INDEKS-INDEKS UNTUK
TANAH, BATUAN, DAN MATERI KEDAP AIR
Logika pengembangan
berbagai transformasi spektral yang telah dijelaskan sebelumnya juga berlaku
untuk objek dan fenomena selain vegetasi. Dasarnya adalah pertimbangan tentang
saluran-salman spektral yang peka terhadap objek bukan vegetasi, misalnya
tanah, batuan, dan penutup lahan artiiisial seperti aspal dan beton bangunan.
Untuk fenomena tanah dan batuan, saluran-saluran yang dipandang peka dalam
merepresentasikan kandungan mineral dan lempung adalah biru, merah, inframerah
dekat, dan inframerah tengah. Karena mteri kedan air seperti bahan bangunan
juga berasal dari bahan tanah dan batuan maka penggunaan transformasi yang
menonjolkan kandungan mineral tertentu (oksida besi) atau mineral lempung juga
kadang-kadang digunakan untuk menonjolkan menjajikan metode ini secara ringkas.
Gambar 7.11 Gambaran
grafis prosedur penurunan informasi kerapatan vegetasi melalui model FCD (
Sumber: Rikimaru et al ., 2002)
Gambar 7.12 Hasil
transformasi spektral citra Landsat ETM+ wilayah Yogyakarta, Gunung Kidul,
dengan menggunakan indeks mineral lempung (kiri) dan indeks oksida besi
(kanan). Area di bagian kiri atas dua merupakan dataran fuviovolkan Merapi dan
didominasi oleh bangunan dan sawah. sementara area perbukitan yang melintang
diagonal didominasi material gunung api yang sudah lapuk, sedangkan area kanan
bawah merupakan cekungan Wonosari.
7.8.1 Oksida Besi
Oksida besi dan besi
hidroksida merupakan mineral-mineral yang paling umum dijumpai dalam lingkungan
alami (Liu dan Mason, 2009). Kenampakannya secara visual untuk mata kita adalah
tanah atau batuan yang terlihat merah sampai merah kecokelatan. Hal ini
disebabkan oleh aktivitas pantulan yang kuat di spektrum merah dan serapan yang
juga kuat di spektrum biru. Tanah-tanah yang berwarna merah juga
diasumsikan mengandung mineral-mineral yang merupakan senyawa besi.
Dengan memperhatikan kecenderungan
yang berkebalikan antara pantulan kuat di spektrum merah dan serapan kuat di
spektrum biru maka keberadaan mineral oksida besi bisa ditonjolkan dengan
menggunakan ratio index sebagai berikut.
Mengingat bahwa baik
saluran merah maupun saluran biru juga mengalami gangguan berupa kontribusi
hamburan oleh atmosfer, di mana nilai minimum yang harusnya nol menjadi
bernilai >0, maka rumus untuk Indeks Oksida Besi menjadi (Liu dan Mason,
2009):
7.8.2 Mineral Lempung
Mineral-mineral lempung
(Clay minerals) dicirikan oleh adanya alterasi hidrotermal dalam batuan, dan
banyak dimanfaatkan untuk eksplorasi mineral dengan menggunakan penginderaan
jauh. Mineral-mineral lempung punya karakteristik yang berbeda dengan batuan
yang belum melapuk dalam hal serapan kuat di wilayah spektral sekitar 2,2 um,
namun di sisi lain memberikan pantulan kuat di wilayah spektral sekitar 1,6 um.
Karena wilayah spektral 2,2 um juga merupakan wilayah saluran 7 Landsat ETM+
(inframerah jauh), sementara wilayah spektral 1,6 merupakan Wilayah saluran 5
Landsat ETM+, maka rumus untuk Indeks Mineral Lempung dapat disajikan sebagai
berikut (ERDAS Field Guide, 2003), dan contohnya disajikan pada Gambar 7.12.
Liu dan Mason (2009)
menegaskan bahwa formula ini secara efektif dapat diterapkan pada citra Landsat
TM atau ETM+ yang mempunyai spesifikasi panjang gelombang yang hampir berimpit
dengan spesifikasi pantulan dan serapan oleh mineral lempung tersebut. Meskipun
demikan, citra ASTER yang mempunyai 5 saluran inframerah tengah dan jauh (SWIR)
kemungkinan dapat memberikan pembedaan yang lebih spesifik.
7.8.3 Indeks Kekotaan
dan Indeks Area Terbangun
Pembahasan terdahulu
tentang indeks-indeks hasil transformasi spektral condong kepada penonjolan
aspek materi alami/semialami. Aplikasi berbagai indeks tersebut akan lebih
ditekankan pada bidang kehutanan, pertanian, tanah, dan juga geologi. Untuk
bidang lain seperti halnya penggunaan lahan kekotaan, sejauh ini tidak banyak
model yang dikembangkan, meskipun bukan berarti tidak ada.
Fenomena kekotaan
biasanya didominasi oleh kehadiran bangunan. Secara spektral, bangunan
sebenarnya tidak selalu tampak berbeda dibandingkan lingkungan di sekitarnya,
khususnya apabila di sekitarnya terdapat tanah atau lahan terbuka. Kenampakan
bangunan pada citra sebenarnya didominasi oleh bagian atapnya. Di negara-negara
maju beriklim sedang, atap bangunan kota terutama terbuat dari bahan metal
(seng atau seng-aluminium), bahan asbestos dan fibercement (meskipun di banyak
negara maju penggunaan asbestos cenderung dihindari), serta bahan beton
(concrete). Objek lain yang juga mendominasi fenomena urban adalah aspal.
Pembedaan objek-objek tersebut dari lingkungan sekitarnya (terutama tanah
terbuka, vegetasi, dan air) bisa dilakukan melalui melakukan pembandingan
spektral dengan objek-objek lain pada kurva pantulan spektral.
Di beberapa negara
berkembang, bangunan rumah tidak hanya mengandalkan bahan seperti yang telah
disebutkan pada paragraf terdahulu. Pada 1970-an hingga 1990-an, penggunaan
bahan kayu (khususnya kayu ulin) untuk atap sangat populer di Indonesia,
meskipun ada kecenderungan saat ini untuk mengganti bahan semacam itu, karena
sangat rentan terhadap kebakaran. Di banyak tempat di Iawa, atap genteng dengan
bahan tanah liat (lempung) seperti halnya bata merah juga masih sangat banyak
dijumpai. Varian dari bahan atap semacam ini adalah genteng keramik yang
berbahan dasar tanah liat juga. Di samping itu, ada pula bahan atap berupa
plastik dan bahan-bahan sintetis lain. Pengenalan atap genteng tanah liat
secara spektral kadang kala terkendala oleh kemiripan dengan respons spektral
tanah di sekitarnya, khususnya apabila karakteristik tanah yang ada menyerupai
bahan atap genteng tersebut.
Lepas dari beberapa
kesamaan antara atap dengan materi alami yang ada di sekitarnya, penggunaan
jumlah saluran yang banyak akan sangat membantu pembedaan objek atap (yang
berarti lahan terbangun) dari objek lainnya. Model transformasi citra yang
efektif untuk pembedaan materi bangunan dengan materi alami biasanya memanfaatkan
saluran-saluran inframerah dekat, tengah, dan jauh, mengingat wilayah spektral
ini dikenal peka tehadap perbedaan antara bahan bangunan dan bahan alami
seperti air, vegetasi, dan tanah terbuka.
Kawamura (1999)
menggunakan indeks kekotaan (urban index, UI) berdasarkan saluran-saluran
inframerah dekat dan saluran inframerah tengah ke=ll (atau kadang kala disebut
inframerah jauh):
Sementara itu, Zha et
al. (2003) menggunakan analogi NDVI untuk mengembangkan indeks area terbangun
yang disebut dengan normalised difference built-up index (NDBI). NDBI digunakan
untuk mengkalkulasi Built-up Area. Kedua formula tersebut adalah sebagai
berikut:
Model-model semacam
ini, karena dikembangkan diwilayah negara maju dan atau wilayah dengan
kebiasaan menggunakan bahan bangunan yang berbeda dengan di Indonesia,
memerlukan validasi dan uji akurasi. Sebagai contoh, tersaji pada Gambar 7.13,
citra hasil transformasi UI, NDBI, NDVI, dan Built-up Area untuk wilayah
Semarang. Citra UI kurang tajam dalam menyajikan perbedaan antara kenampakan
kekotaan dan bukankekotaan. Citra NDBI dengan bagus menyajikan perbedaan ini,
meskipun kenampakan perairan tampak sedikit cerah. Citra NDVI hampir sama
tajamnya dengan citra NDBI, namun dengan kecenderungan yang terbalik. Sementara
itu, citra Built-up Area kurang tajam dibandingkan NDBI dan justru menunjukkan
kenampakan perairan yang cukup cerah sehingga bisa dikacaukan dengan bangunan
kekotaan. Aplikasi untuk wilayah yang tidak menunjukkan adanya tubuh air akan
memberikan hasil yang lebih masuk akal.
DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro,Projo. Penagantar Penginderaan Jauh
Digital .-Ed.1.-Yogyakarta: ANDI.2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar